Saya kembali ke kamar. Mati lampu sedari malam membuat saya bergelap-gelapan. Ingin membaca buku, ah kurang cahaya. Ingin menulis, apa yang harus ditulis. Akhirnya saya hanya mendengarkan lagu dari handphone agak modern milik saya ini, itu pun dengan perasaan was-was sebab simbol baterai di pojok kanan atas menandakan daya hidupnya tinggal 2 bar. Kalau handphone saya ini tidak menyala lagi, saya tidak akan bisa mengirim dan menerima sms atau telepon dari kamu-kamu sekalian, bukan ?? Terutama dari kamu, itu itu yang duduk di urutan ke 5 baris ke 2 dari belakang. Ya, ya.. Yang sedang memegang gelas berisi teh hangat atau kopi atau apa itu yang mengepul, saya tidak tahu..
Beberapa lagu diputar. Kemudian tibalah pada lagu milik sebuah band yang saya kagumi sebab liriknya tidak picisan. Kalaupun picisan, buat saya tidak mengapa karena liriknya memang bagus. Padi, itulah nama band yang saya maksud. Entah mengapa, saya langsung tertohok begitu lagu ini bersuara. Seperti mengingatkan tentang apa yang saya lakukan malam tadi. Memangnya apa yang saya lakukan ? Oke, bayangkanlah. Saya duduk di tepi kasur bersprei biru muda bergambar sapi milik saya, kedua tangan menumpu kepala saya, dengan tubuh membungkuk seperti ringkih dan pikiran dipenuhi banyak hal. Begitu saja terus selama setengah jam. Tapi saya tidak tertidur. Saya terjaga. Gelisah. Galau. Kalut. Tertekan. Rindu rumah. Capek hati. Capek badan. Ingin bicara tapi tak tahu pada siapa. Ingin teriak tapi takut membangunkan yang lain. Sudah gilakah saya ?? Apakah saya ingin jadi gila ??
Well, oleh sebab itu saya sangat terhibur oleh lagu dari Padi. Dengan judul yang mereka beri nama Sang Penghibur. Saya menginterpretasikan lagu tersebut sebagai Sang Penghibur itu sendiri. Sayang sekali saya menyetelnya pagi ini, bukan tadi malam di saat hati saya sedang resah gelisah oleh satu kekuatan yang tidak bernama. Atau haruskah saya menamainya : Tekanan Hidup ??
Dan saya putuskan untuk menuliskan liriknya disini...
Sang Penghibur
Setiap perkataan yang menjatuhkan
Tak lagi ku dengar-dengar sungguh
Juga tutur kata yang mencela
Tak lagi ku cerna dalam jiwa
Aku bukanlah seorang yang mengerti
Tentang kelihaian membaca hati
Ku hanya pemimpi kecil yang berangan
Tuk merubah nasibnya
Oh, bukankah ku pernah melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya
Yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya
Yang sedih hatinya
Ku gerakkan langkah kaki
Dimana cinta akan bertumbuh
Ku layangkan jauh mata memandang
Tuk melanjutkan mimpi yang terputus
Masih ku coba mengejar rinduku
Meski peluh membasahi tanah
Lelah penat tak menghalangiku
Menemukan bahagia
Oh, bukankah ku pernah melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya
Yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya
Yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya
Oh, bukankah ku bisa melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya
Bukankah hidup ada perhentian
Tak harus kencang terus berlari
Ku helakan nafas panjang
Tuk siap berlari kembali
Melangkahkan kaki
Menuju cahaya
Bagai bintang yang bersinar
Menghibur yang lelah jiwanya
Bagai bintang yang berpijar
Menghibur yang sedih hatinya
Dan ketika saya membaca kembali notes yang sedang saya buat ini, saya sadar bahwasanya saya sudah berlebihan. Tidak ada hal seperti yang saya sebutkan semalam tadi di kamar saya ini. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada saksi-saksi bisu di sini ; meja, kursi, lemari, kasur, kaca, ataupun guling dan teman-teman lainnya. :)
No comments:
Post a Comment